Mba Rien - Awal Perjumpaan 02

Posted on Thursday, June 26, 2008 by Cerita Dewasa

Sejak pertemuan itu, Kino sering melamunkan Mba Rien. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Kino merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Rien. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!




Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Kino kembali membayangkan Mba Rien. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau tidak terlalu besar. Kino juga terkenang lehernya yang agak basah oleh keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?

Kino makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Kino menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Kino menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Rien. Terbayang ia mengulum bibir Mba Rien yang basah. Terbayang dadanya yang ceking menempel di dada Mba Rien yang kenyal. Gila! Kino terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah.

Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!

*****

Mba Rien - Awal Perjumpaan 01

Posted on Saturday, May 10, 2008 by Cerita Dewasa


Nama panjangnya adalah Rinduwati Suliandara. Mba Rien, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Kino tak pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, tetapi pokoknya ia tak tampak terlalu tua, walau jelas bukan pula remaja. Wajahnya -jika memakai ukuran normal- tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja Tetapi Mba Rien memiliki mata yang sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang -menurut Kino- sangat menarik, karena selalu kelihatan basah.
Waktu itu Kino duduk di bangku SMA, kelas dua A. Untuk usianya, waktu itu Kino tergolong "terlambat" dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang naksir, namanya Alma, gadis dari kelas dua B. Tetapi Kino tidak tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Kino, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak tertarik. Berenang di sungai lebih menarik bagi Kino, katimbang jalan-jalan dengan Alma.

Tetapi Mba Rien menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Kino mengantar adik perempuannya, Susi, ke sanggar untuk latihan menari. Kino sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda, diboncengnya Susi ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Rien, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.

"Selamat sore Susi...," ucap Mba Rien menyapa Susi, lalu sekejap melirik Kino. Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Kino sambil melepas gandengan tangan adiknya.

"Mba Rien, ini kakak saya...," Susi menunjuk ke Kino yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Rien mengangkat muka, dan tersenyum kepada Kino. Agak canggung, Kino membalas tersenyum dan berucap serak, "Selamat sore, mbak...".

Mba Rien hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Susi, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Kino masih berdiri, memandang tubuh Mba Rien dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Rien menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Kino, wanita ternyata bisa menarik juga!

Untuk beberapa jenak, Kino masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah. Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Rien berbekas keras di kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Kino tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas....? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Kino gelisah. Berkali-kali Kino merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.

Ketika ayah memintanya menjemput Susi, dengan bersemangat Kino mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Rien melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan anak-anak kecil. Pandangan Kino tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Rien, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang indah! Selama ini, bagi Kino menari adalah kegiatan perempuan yang tak menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Rien mengangkat tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya ...., Kino menelan ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Kino membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi, seperti ditarik magnit, muka Kino sesekali kembali lagi memandang ke ruang latihan.

Dari ruang tari, Rien juga bisa melihat keluar, walau perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Kino duduk. Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Rien melirik dan mengernyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak atau ayah atau paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Kino bagi Rien agak tidak biasa.

Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bangkit dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Susi keluar dan menghampirinya.

Rien, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Susi berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai, Rien berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup keras untuk didengar Kino.

"Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik...," ujarnya. Kino cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang.

Rien tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Kino menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Kino seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi. Dan Kino pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Susi menuju sepeda. Rien kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.

*****